Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memastikan tidak
akan menggunakan hak sensor tweet yang ditawarkan oleh Twitter. Namun
demikian, bukan berarti Indonesia memberikan kebebasan tanpa adanya
sensor di ranah jejaring sosial.
Menurut Kepala Informasi dan
Humas Kominfo Gatot S Dewabroto, pemerintah memang tidak menggunakan hak
sensor Twitter, karena memang sebenarnya sudah diatur dalam
undang-undang, yakni salah satunya UU Informasi Transaksi Elektronik
(ITE). "Kami tidak ingin melakukan silent sensor atau sensor
diam-diam. Kalau ada yang perlu disensor kami akan membicarakannya
dengan publik. Tapi, kami bukan berarti tidak memberlakukan sensor,"
kata Gatot.
Twitter
sejauh ini memang memberlakukan layanan yang mengundang kontrovesi
tersebut agar membentuk sebuah jalan tengah supaya layanan
mikrobloggingnya tidak dilarang hadir di negara tertentu. Twitter
menawarkan hak istimewa ini, karena ide tiap negara berbeda soal
kebebesan berekspresi. Gatot kemudian menjelaskan seandainya
suatu saat ada masalah yang menimbulkan keresahan di publik, pemerintah
akan bertindak sambil membicarakan hal tersebut dengan
masyarakat. Menurutnya batasan terhadap twitt sudah ada dalam
Undang-Undang No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
"Publik
harus aware dengan etika di Twitter. Kalau ada yang nge-tweet tiba-tiba
digugat dengan UU ITE, pasal 27 sampai 37, jangan kaget. Karena etika
di Twitter cukup dengan itu," tambahnya. Dia juga menerangkan
tidak khawatir dengan kemungkinan Twitter digunakan sebagai alat
revolusi. Misalnya seperti di negara Arab yang ingin menutup Twitter
setelah revolusi.
Sejauh ini baru dua negara yang bakal
menggunakan hak menyensor dari Twitter ini, yaitu Thailand dan China.
Khusus buat China, negara ini memang ketat dalam mengontrol tindak
tanduk kegiataan yang terjadi di dunia maya, karena imbasnya terkadang
bisa berefek jauh hingga ke dunia luar.
0 comments:
Post a Comment
Hargailah orang lain agar orang lain menghargaimu. Silahkan Komentar dengan Baik dan Sopan.